ARTICLE AD BOX
Ditingkat Provinsi, SKT dikeluarkan oleh Gubernur melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi.
Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali, I Nyoman Budiutama menegaskan kehadiran ormas yang belum memiliki SKT di Bali tidak bisa dibenarkan. Ia merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016, serta Permendagri Nomor 56 Tahun 2017 yang mengatur tata kelola dan pengawasan ormas di daerah.
"Sesuai dengan peraturan itu kan kita tidak boleh nolak kehadiran daripada ormas, karena dilindungi oleh aturan. Tapi secara administrasi, ormas yang belum memiliki SKT adalah ilegal," ujar politisi PDI Perjuangan ini saat dihubungi NusaBali, Senin (5/5) sore. Pernyataan ini disampaikan Budiutama menanggapi viralnya kemunculan sebuah ormas di Bali yang belum mengantongi SKT dari Kesbangpol Provinsi Bali.
“Saya koordinasi dengan Kesbangpol Provinsi Bali ormas itu belum memiliki dan terdaftar Surat keterangan terdaftar (SKT) sehingga disimpulkan keberadaannya itu secara administratif ilegal,” tegasnya. Meski demikian, dia mengingatkan bahwa DPRD tidak bisa serta-merta melarang keberadaan ormas tertentu, karena diatur dalam undang-undang. Namun, jika ditemukan pelanggaran administratif atau aktivitas yang meresahkan, maka penegakan hukum bisa dilakukan.
“Kalau kita melarang (berdirinya ormas) itu kan tidak boleh karena sudah diatur oleh undang-undang, nanti dibilang melanggar hak asasi manusia lagi atau tidak menghargai hak berserikat. Kalau kita buatkan perda untuk melarang, nanti malah bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Jadi tinggal dilihat saja sepak terjangnya. Kalau sekarang dia belum punya SKT, mau lakukan kegiatan apapun itu kegiatannya berkedok sosial menjaga ketenteraman itu dari pihak penegak hukum bisa itu membubarkan atau melarang,” jelasnya. Terkait kemungkinan penerbitan SKT bagi ormas yang mengajukan, Komisi I DPRD Bali memberikan usulan dan atensi agar pemerintah daerah selektif dalam menerbitkan SKT bagi ormas. Setiap permohonan harus diverifikasi ketat bahkan berulang, mulai dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), struktur organisasi, hingga rekam jejak kegiatan di lapangan.
Menurut Budiutama, jangan sampai SKT diberikan kepada ormas yang dalam praktiknya menimbulkan gangguan keamanan atau menghambat investasi. “Perlu dicek AD/ART-nya, sepak terjangnya di lapangan. Jangan sampai segampang itu mengeluarkan SKT. Kalau sampai menimbulkan keresahan, seharusnya tidak diberikan izin,” tuturnya. Disinggung terkait maraknya penolakan dari masyarakat, khususnya di tingkat desa adat, Komisi I DPRD Bali menyatakan dukungan penuh terhadap pengamanan berbasis tradisional yang selama ini telah berjalan. Bahkan sejumlah desa adat secara terbuka menolak kehadiran ormas tersebut, karena dianggap tidak relevan dengan sistem pengamanan yang sudah berjalan di Bali. “Di Bali sudah ada sistem pengamanan Sipandu Beradat, ada pecalang, babinsa, bhabinkamtibmas. Itu sudah cukup menjaga ketenteraman di wewidangan masing-masing,” kata politisi asal Bangli ini.
Menurutnya, ormas yang datang dan mengklaim sebagai pelindung masyarakat tanpa dasar legalitas, apalagi disinyalir berpraktik seperti premanisme, justru berpotensi menimbulkan keresahan. Ia mengingatkan, jangan sampai ormas berbalut kegiatan sosial malah membuat masyarakat takut, mengganggu investasi, atau melakukan pungutan liar. “Kami sangat menolak ormas yang berkedok premanisme. Kalau memang kegiatan sosial, ya harus jelas dan tidak membuat keresahan. Kalau meresahkan bisa dicabut itu izin SKT-nya,” tandasnya. Hingga tahun 2025, forum Sipandu Beradat sudah terbentuk di 1.493 desa adat di Bali, yang tersebar di 57 kecamatan dan 9 kabupaten/kota.
Hal ini mencerminkan kuatnya sistem keamanan tradisional yang berpijak pada nilai-nilai lokal. Komisi I pun menilai, keberadaan pecalang dalam menjaga ketertiban di wilayah adat tidak memerlukan tambahan kekuatan dari ormas luar.
Lebih lanjut, dia juga mengutip pernyataan Menteri Dalam Negeri yang meminta pemerintah daerah melakukan penataan ulang terhadap ormas-ormas yang berpotensi mengganggu ketertiban umum dan stabilitas daerah serta iklim investasi.
“Kalau misalnya ada ormas-ormas yang sampai mengganggu investasi, meresahkan masyarakat, itu izinnya harus ditinjau ulang. Karena masalah ormas ini kan bukan hanya masalah di Bali, ini secara nasional,” tegasnya. Komisi I, lanjut Budiutama, menilai Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 26 Tahun 2020 tentang Sipandu Beradat sudah cukup untuk menjaga ketertiban di Bali. Karena itu, pihaknya mendukung penolakan dari pecalang atas kehadiran ormas yang dianggap tidak relevan dan berpotensi menimbulkan kegaduhan. “Kalau di Bali sudah cukup. Regulasi daerah kita sudah lengkap. Kalau sampai ada yang mengganggu ketertiban, silakan penegak hukum bertindak. Jangan biarkan ormas ilegal berkegiatan tanpa dasar hukum yang sah,” pungkas Budiutama. 7 t