Nyoman Parta: Hentikan Pembangunan Pariwisata yang Mengeksploitasi Bali!

1 day ago 6
ARTICLE AD BOX
Parta menjelaskan bahwa terserah meyakini atau tidak, pariwisata di Pulau Dewata adalah ‘bunga dan buah’ dari pohon yang menyerap nutrisi dari tanah Bali. Ibarat tanah dan akar adalah subak, batang adalah desa adat, maka pariwisata hanya sekadar bunga dan buah dari dua komponen tersebut.

“Tanah Bali bukan sekadar hamparan tanah hitam, tapi di tanah inilah proses awal sumber kebudayaan Bali,” beber Parta saat menjadi pembicara di Rumah Kebangsaan dan Kebhinnekaan (Kakek) Festival di Penatih, Denpasar, Kamis (29/5/2025).

Kata Parta, dari hamparan tanah, masyarakat Bali mengenal Dewi Uma. Ketika tanah tersebut dialiri air (mapag toya), mengenallah Dewi Danu. Dan, ketika padi tumbuh dan bernas, dikenallah Dewi Sri.

Politisi asal Desa Guwang, Sukawati, Gianyar ini menuturkan bahwa kebudayaan Bali yang menjadi daya tarik pariwisata saat ini purwarupanya adalah budaya pertanian. Dari budaya agraris, akhirnya berkembang menjadi kebudayaan yang kompleks seperti yang dikenal sekarang.

“Ketika sekarang kita jamah dia, kita rusak dia, kita eksploitasi dia, sesungguhnya kita mengganggu sumber (kebudayaan) kita,” jelas pria kelahiran 9 Juni 1971 silam.

Jejak budaya agraris yang masih tampak di kebudayaan Bali yang kompleks sekarang ini adalah keberadaan bangunan jineng/klumpu/glebeg (lumbung) di Pura Kahyangan Tiga. Bangunan tersebut biasanya dipakai warga adat menyimpan sebagian hasil panen untuk ketahanan pangan di desa.

Sayangnya, kata Parta, tradisi tersebut sudah menghilang meskipun secara ritual masih ada yakni upacara Ngusaba Desa/Nini. “Suatu saat ada upacara itu di desa, padahal sawahnya sudah tidak ada. Di sini penting bagi saya mengingatkan bahwa tanah Bali bukan sekadar tanah berwarna hitam,” tegasnya.

Parta membandingkan, masih banyak destinasi pariwisata internasional yang jauh lebih indah dan bersih dari Bali. Tetapi, yang akhirnya membuat Bali tetap bisa berbunga dan berbuah (punya pariwisata) adalah perspektif spiritual dan kebudayaan yang dihasilkan tanah dan batang (subak dan desa adat) Pulau Dewata.

“Cara berpikir saya, pariwisata ini adalah bonus. Oleh karena itu, jangan pernah mengubah bonus (buah dan bunga) menjadi akar,” tutur Parta.

Mengutip data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Parta merinci 1.500-2.000 hektare lahan pertanian hilang di Bali setiap tahunnya. Fenomena alih fungsi lahan ini menjadi getah dari bunga dan buah yang generasi sekarang justru melihatnya sebagai tanah dan akar.

Sawah semakin menipis, harga tanah semakin mahal karena didorong pengembangan industri pariwisata. Walhasil, orang Bali yang penghasilannya tidak seberapa dan pekerja Bali yang gajinya tidak sebesar kota-kota besar Pulau Jawa hanya bisa gigit jari melihat tanah leluhur mereka sendiri semakin jauh dari jangkauan.

Selain itu, Parta juga mengutip data WALHI tentang penggunaan air tanah yang telah didominasi industri pariwisata. Menurut WALHI, 65 persen air tanah di Kabupaten Badung disedot untuk kebutuhan industri pariwisata seperti hotel, restoran, vila, dan lain-lain.

“Sedangkan, desa adat kita mulai tergiur menjual mata air ke perusahaan-perusahaan industri air kemasan. Padahal, dia (perusahaan) tidak pernah datang merawat pohonnya, mata airnya, tidak pernah memberikan ritual, tapi mengambil hasilnya,” ucap Parta.

Di sisi lain, masyarakat Bali yang telah bingung sampai melihat bunga dan buah (pariwisata) sebagai akar diikuti kemunduran karakter orang Bali yang dekat dengan alam baik secara sakala maupun niskala. Hal ini dibuktikan dengan permasalahan sampah yang semakin menjadi-jadi.

“Kita harus fair bahwa tidak nyambung antara ritual dengan slogan Tri Hita Karana, dengan perilaku kita. Semua ingin bersih, tapi ingin itu baru cita-cita, yang dibutuhkan adalah komitmen,” kata Parta.

Untuk itu, politisi yang dikenal vokal ini mengingatkan hanya ada satu pilihan agar Bali bisa bertahan yakni menghentikan pembangunan pariwisata yang mengeksploitasi. Tidak peduli mass atau quality tourism. Mass tourism tidak bisa jadi alasan mengeksploitasi dan quality tourism harus benar-benar bisa menjaga kelestarian Bali.

“Hentikan pembangunan pariwisata yang mengeksploitasi Bali. Jadi, enggak ada jalan tengah dari yang dieksploitasi dan yang di pelestarian. Ya pelestarian (saja) agar anak cucu kita bisa melihat Bali,” tandas Parta. *rat
Read Entire Article