ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Di tengah sibuknya Jalan Raya Puputan, Niti Mandala, Denpasar, terdapat tempat ibadah Hindu-Buddha yang tersembunyi di kawasan Taman Janggan. Tempat ibadah berupa cetiya tersebut telah menjadi saksi perjalanan spiritual banyak orang, termasuk sang pendiri.
Cetiya Siwa-Buddha Dharma Mahayana tersebut berada di Jalan Puputan II Nomor 45, Desa Sumerta Kelod, Denpasar. Masyarakat umum mungkin tahu, cetiya ini bernuansa Buddhisme ketika melihat kepala patung Dewi Kwan Im berwarna emas, berukuran raksasa terlihat dari jalanan. Namun, cetiya atau vihara kecil ini menyimpan unsur Hindu di dalamnya dengan keberadaan beberapa palinggih. Palinggih tersebut seperti Padmasana, Palinggih Gedong tempat berstana Ida Bhatara Lingsir Puncak Mundi, Siwa Buddha, dan Ida Bhatari Ratu Niang, serta ada Palinggih Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped.
Pemilik Cetiya Siwa-Buddha Dharma Mahayana I Gusti Agung Dian Purnama Suwela,51, menuturkan bahwa tempat ibadah ini dibangun almarhum suaminya pada tahun 2004 silam. Ia adalah Tjan Yung Sen alias Candra Wijaya, seorang arsitek dari etnis Tionghoa asal Amlapura, Karangasem. “Beliau itu arsitek dan pengusaha. Kemudian, tiba-tiba mendapat wangsit dari leluhurnya. Istilah Bali-nya itu beliau pernah kerauhan karena leluhur atau kongco beliau itu punya garis menjadi spiritualis yang membantu penyembuhan,” ungkap Agung Dian saat ditemui NusaBali, Senin (12/5/2025) malam.
Sebagai seorang pebisnis, kemudian dihadapkan pada situasi semacam itu, kata Agung Dian, suaminya masuk ke fase mencari jati diri. Akhirnya, tahun 2004 di area kediaman pribadinya di Denpasar sebuah cetiya dibangun. Cetiya tersebut difungsikan untuk melayani umat yang hendak mencari kesembuhan fisik maupun psikis di jalan spiritual. Di dalam cetiya terdapat tiga rupang Buddha yang dimuliakan yakni Buddha Sakyamuni, Buddha Amitabha, dan Buddha Bhaisajyaguru atau Buddha Pengobatan, serta rupang-rupang Bodhisattva dan dewa-dewi Tri Dharma.

Almarhum Tjan Yung Sen, pendiri Cetiya Siwa-Buddha Dharma Mahayana. –IST
Seiring perjalanan spiritual Candra Wijaya, unsur Hindu lantas mulai dimasukkan. Hadir palinggih yang sejalan dengan praktik pengobatan dan ilmu spiritual seperti Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped, Ida Bhatara Lingsir Puncak Mundi, dan Ida Bhatari Ratu Niang. “Seiring waktu, cetiya ini berkembang menjadi pusat penyembuhan dan pembinaan rohani yang sinkretik memadukan Siwaisme, Buddhisme, dan Tri Dharma sehingga menjadi Cetiya Siwa-Buddha,” ungkap Agung Dian.
Meski sebagai seorang Tionghoa yang lahir di lingkungan spiritual Tri Dharma (Buddha, Tao, dan Konghucu), Candra tumbuh di tanah Bali yang berakarkan Siwaisme Hindu. Ia tidak asing dengan tradisi Hindu Bali dan menjadi bagian dari ajaran yang dipraktikkan dalam kebudayaan setempat ini. Cetiya Siwa-Buddha kemudian banyak dituju utamanya oleh umat Tri Dharma dan Hindu untuk mencari jalan keluar spiritual dari permasalahan yang mereka hadapi. Umat yang merasakan anugerah kesembuhan kebanyakan bertahan menjadi komunitas cetiya. Sampai sekarang, 50-an umat bergabung dengan cetiya.
“Beliau banyak membantu umat yang mengalami gangguan spiritual, terkena pengaruh ilmu hitam, sulit dikaruniai keturunan, masalah batin, maupun persoalan hidup,” jelas Agung Dian. Pada 5 Desember 2021, Candra Wijaya berpulang. Agung Dian menjaga pesan almarhum suaminya untuk melestarikan cetiya. Umat pun masih tetap bertahan karena ikatan mereka dengan mendiang. Kegiatan rutin mulai ditata dengan pelaksanaan meditasi dan puja bhakti mingguan. Kemudian, dilakukan ritual melukat setiap bulan sekali, dan puja bhakti rutin menurut tradisi Tionghoa seperti Ce It setiap tanggal 1 dan Cap Go yang dilakukan tanggal 15 setiap bulan sesuai kalender lunar, serta upacara piodalan setiap Waisak.
“Kalau untuk penyembuhan sejak 2021 memang tiarap setelah suami tiada. Tetapi, kami tetap membuka pintu cetiya lebar-lebar untuk siapapun yang mencari ketenangan spiritual melalui meditasi atau dengan sembahyang,” tandas Agung Dian. 7 ol1